Berita

Konvensi Rotterdam: Pro dan Kontra Paraquat Dichloride

KONVENSI ROTTERDAMP3KLL (Serpong, September 2020)_Pro dan kontra dampak negatif paraquat dichloride sebagai herbisida pengendali gulma telah menambah panjang pembahasan pencapaian konsensus untuk memasukkan paraquat dalam daftar Annex III Konvensi Rotterdam. Konvensi Rotterdam merupakan perjanjian internasional yang bertujuan untuk mengatur mekanisme perdagangan bahan berbahaya beracun (B3) dan pestisida antar Negara Pihak atau negara penandatangan konvensi melalui prosedur persetujuan awal (Prior Inform Consent-PIC) atau persetujuan atas dasar informasi awal. Bahan berbahaya beracun termasuk pestisida yang masuk dalam lingkup Annex III, tunduk terhadap PIC yang merupakan mekanisme untuk mensosialisasikan kebijakan impor Negara Pihak sebagai pertimbangan untuk memutuskan apakah akan menerima pengiriman bahan kimia yang terdapat dalam daftar Annex III Konvensi Rotterdam. PIC memfasilitasi pertukaran informasi yang berguna untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup.

Paraquat dichloride merupakan bahan kimia formulasi pestisida atau secara spefifik sebagai herbisida yang digunakan untuk pengendalian gulma tanaman di seluruh  dunia. Paraquat pertama kali diproduksi dan dijual diawal tahun 1962 dengan nama dagang gramoxone. Paraquat diklasifikasikan sebagai herbisida kontak yang dapat membunuh berbagai macam rumput tahunan dan gulma berdaun lebar. Pekerja di perkebunan atau pertanian dapat terpapar paraquat melalui inhalasi uap pestisida atau terkena melalui kulit jika fasilitas mencuci dan peratan pelindung diri tidak memadai.

Konvensi Rotterdam diawali pada tahun 2010 dengan adanya proposal dari Burkina Faso untuk memasukkan herbisida Gramoxone yang berbahan aktif paraquat dalam Annex III sebagai severely hazardous pesticide Formulation (SHPF). Chemical review Commite (CRC) juga telah mengeluarkan rekomendasi paraquat sebagai SHPF. Pada Conference of the Parties, ke 6 (COP 6) tahun 2013, paraquat dipertimbangkan masuk dalam Annex III Konvensi Rotterdam, namun pada COP 7 tahun 2015 pembahasan tidak mencapai sepakat, karena Indonesia, Guatemala dan India menolak memasukkan paraquat dalam Annex III. Demikian juga pada pembahasan di COP-8 pada tahun 2017 juga belum mencapai konsesus karenaselain Indonesia, Guatemala dan India, negara Chile juga melakukan penolakan. Pro dan kontra antar negara untuk memasukkan paraquat dalam annex III Konvensi Rotterdam telah menjadi pembahasan panjang. Negara yang pro menyatakan bahwa perlu perhatian khusus terhadap toksisitas dan dampak penggunaan paraquat terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Jika paraquat masuk dalam Annex III, maka Negara Pihak akan mendapatkan fasilitas pertukaran informasi awal terkait perdagangan ekspor impor paraquat. Sebaliknya jika paraquat tidak masuk dalam Annex III, maka hak Negara Pihak untuk mendapatkan informasi perdagangan lintas batas menjadi hilang. Paraquat masuk dalam Annex III bukan berarti paraquat dilarang, namun Paraquat dapat mempengaruhi kesehatan manusia atau lingkungan. Studi yang dilakukan oleh US National Institute of Health menunjukkan adanya keterkaitan antara paraquat dengan penyakit parkinson yang diderita pekerja perkebunan.

Menurut US Center for Disease Control and Prevention, paraquat yang tertelan dapat menyebabkan gejala pada hati, paru-paru, jantung, dan gagal ginjal dalam beberapa hari hingga beberapa minggu yang dapat menyebabkan kematian hingga 30 hari setelah paraquat tertelan. Mengingat dampak yang ditimbulkan, maka secara internasional telah dilakukan kanpanye untuk pelarangan global, namun di sebagian besar negara berkembang, paraquat masih digunakan karena harganya murah. Negara maju seperti Uni Eropa telah melarang penggunaan paraquat sejak tahun 2007, demikian juga di Amerika Serikat paraquat hanya dapat digunakan oleh aplikator berlisensi.

Dalam pertemuan pembahasan persiapan menghadiri COP-9 yang diselenggarakan oleh Direktorat Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, disampaikan bahwa daftar panjang pembahasan paraquat oleh Negara Pihak mengharuskan setiap Negara Pihak memberikan informasi awal terkait kemungkinan importasi bahan kimia tersebut.

Negara yang kontra atau menolak usulan dalam Annex III menyatakan bahwa formulasi paraquat masih banyak digunakan karena belum tersedia alternatif yang hemat biaya. Selain itu World Health Organization atau WHO hanya mengklasifikasikan paraquat sebagai kelas II, moderately hazardous. CRC perlu mengumpulkan fakta ilmiah lebih lanjut karena kasus penyalahgunaan paraquat di Burkina Faso sebagai pencetus awal usulan paraquat dalam Annex III belum tentu terjadi di negara lain. Pengkajian lebih lanjut masih diperlukan terhadap masuknya formulasi paraquat dalam Annex III.

Bagaimana dengan posisi Indonesia terhadap paraquat? Dipandang dari sudut kesehatan dan lingkungan, tidak ada keberatan untuk memasukkan paraquat dalam Annex III, karena akan mendukung perlindungan terhadap manusia dan lingkungan. Namun, paraquat masih banyak beredar dan digunakan di Indonesia. Pada Buku Pestisida Pertanian dan Kehutanan yang dikeluarkan tahun 2016 oleh Kementerian Pertanian masih tercantum sebanyak 73 nama dagang pestisida dengan bahan aktif paraquat dichloride. Kementerian Pertanian (Kementan) juga menyatakan bahwa hasil kajian yang telah dilakukan menyatakan bahwa paraquat aman sehingga tidak perlu masuk dalam Annex III. Yang perlu mendapat perhatian bahwa setiap kajian harus dapat memberi keyakinan bahwa hasil yang diperoleh layak untuk dijadikan data yang kuat untuk mendukung penyataan sikap Indonesia.

Pada COP tahun 2019, berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Tim Kementan, Indonesia berhasil mempertahankan agar paraquat tidak masuk dalam Annex III. Posisi ini didukung oleh negara Chili. Tim Kementan sebelumnya juga telah menyampaikan hasil kajian tersebut dalam pertemuan pembahasan persiapan menghadiri COP 9, yang menyatakan bahwa aplikasi penggunaan paraquat dichloride pada budidaya jagung, padi, kelapa sawit dinyatakan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap sifat fisika dan kimia tanah, jumlah spesies, indek dominansi dan keanekaragaman spesies arthopoda tanah, komunitas fungi dan bakteri tanah.

Disampaikan juga bahwa hasil analisis residu tidak berdampak signifikan atau masih aman digunakan sepanjang penggunaan sesuai izin dan rekomendasi penggunaan. Pada ahkirnya, sebagai hasil COP 9 tahun 2019, Presiden Konvensi Rotterdam memutuskan bahwa pembahasan masuknya paraquat dichloride dalam Annex III ditunda kembali sampai COP 10 tahun 2021 yang akan diselenggarakan di Nairobi, Kenya. Terkait dengan kualitas lingkungan, laboratorium lingkungan diperlukan untuk dapat memberikan kontribusi terhadap keberadaan residu paraquat di lingkungan baik di air, udara, sedimen maupun di tanah. Residu pencemar yang sampai ke lingkungan pada umumnya sudah berada pada level yang sangat rendah baik dalam level part/billion (ppb) atau bahkan part/trillion (ppt) sehingga untuk mendeteksi pencemar di lingkungan diperlukan instrumen dengan kemampuan deteksi yang tinggi agar dapat memantau residu pencemar tersebut. Metode pengambilan sampel dan pengujian serta peralatan yang tepat diperlukan untuk mendapatkan data hasil yang valid dan dapat dipertanggung jawabkan.

Data yang representatif dan valid diharapkan dapat menambah keterwakilan data yang dapat digunakan untuk memperkuat dukungan terhadap penentuan sikap Indonesia dalam pembahasan posisi paraquat di COP 10 mendatang. Masuk atau tidaknya paraquat dalam Konvensi Rotterdam, tidak menghalangi perlunya kesadaran bahwa penggunaan berbagai bahan kimia mempunyai dampak yang perlu mendapat perhatian.***(DR).

*Annex III melarang semua bentuk pengangkutan bahan – bahan berbahaya kecuali dengan mematuhi peraturan dalam IMDG Code Pengemasan, pemberian tanda pemberian label, dokumentasi, pemadatan, pembatasan jumlah dan pengecualan untuk mencegah atau mengurangi dampak pencemaran yang mungkin ditimbulkan.